Selasa, 11 Oktober 2011

JADILAH BIROKRAT SEJATI ATAU POLITIKUS SEJATI


Bila tokoh agama, birokrat, ilmuwan, pengamat politik, wartawan dan media masa sudah terlibat politik tertentu dan melakukan manuver politik, maka idealisme, profesionalisme dan kualitas opininya mulai tidak menyejukkan dan mulai diragukan banyak orang. Peduli polktik bagi seorang profesional bukanlah hal yang haram.

Bila profesional peduli politik jangan seperti seorang politikus. Sehingga jika akan bermanuver politik yang cerdas jadilah politikus sejati tetapi jangan menggadaikan profesi untuk mencapai tujuan. Bila seorang profesional berpolitik, maka kemampuan profesionalnya akan menunjang karier politiknya. Tetapi biasanya kualitas profesionalnya semakin meredup dan tidak berkualitas lagi.


Jika berbagai manuver politik cerdas dan ideal dilakukan maka kehidupan politik yang ada adalah politik yang santun dan menyejukkan. Hal itu akan terjadi bila disertai niat baik dan bukan sekedar untuk kepentingan individu dan kelompok tetapi demi kepentingan positif bersama. Pilihan hidup harus dilakukan dalam setiap profesi, baik sebagai politikus, tokoh agama, wartawan, ilmuwan dan profesi lainnya. Bila profesi politikus digabungkan dengan profesi lainnya maka profesi tersebut biasanya sudah tidak bisa profesional lagi. Karena pertimbangan politik yang sangat rumit akan mengaburkan idealisme profesi. Memang tidak ada larangan profesi tertentu punya perhatian terhadap politik. Tetapi begitu profesional masuk dalam ranah politik praktis maka sebaiknya idealisme profesi ditinggalkan karena sudah tidak rasional lagi.
Kemewahan politik wajar saja akan menggoda para profesional bergeming untuk masuk politik praktis. Tetapi kalau menjadi seorang profesional sejati berperilakulah sesuai profesi. Bila hendak berpolitik sebaiknya jadilah politikus sejati jangan gadaikan profesionalitas yang ada.
Idealisme itu akan tinggi nilainya, menyejukkan dan tidak akan banyak benturan bila ditopang dengan sikap profesionalitas sejati. Sehingga jadilah profesional sejati bila ingin menjadi profesional. Dan jadilah politikus sejati bila menjadi politikus. Meski tidak ada salahnya seorang profesional tertarik dengan politik.
Jadilah birokrat sejati. Bila jadi birokrat sejati harus bertindaklah demi rakyat bukan demi partai, karena birokrat adalah miiik rakyat. Segala niat baik, ucapan dan perilaku dalam bekerja para birokrat bukan harus demi kepentingan kelompok dan partainya. Baju berwarna dari partai harus ditinggalkan. Setiap saat yang digunakan para birokrat adalah baju kebesaran birokrat yang selalu peduli melayani rakyatnya. Karena para birokrat adalah pelayan rakyat bukan sebaliknya.
Jadi tokoh agama sejati. Bila jadi tokoh agama sejati harus dengan niat tulus, berucap menyejukkan , beretika dan santun untuk teladan umat agamanya. Jangan gadaikan agama untuk kepentingan individu dan politik sesaat, niscaya kualitas ucapan tokoh agama akan berkualitas dan terus akan jadi panutan. Bila agama digadaikan demi kepentingan politik sesdaat maka umat jadi resah dan ikut masuk konflik politik yang tidak menyejukkan.
Menjadi tokoh agama memang bukanlah hal tabu untuk memasuki ranah politik demi memperbaiki etika politik bangsa. Tetapi ketika tokoh agama peduli dengan masalah politik, jangan berperilaku seperti seorang politikus. Hal yang menjadi contoh baik ketika Zainudin MZ masuk politik praktis dia sementara mengurangi dakwahnya. Tetapi begitu keluar dari politik, dakwahnya menjadi berkualitas lagi.
Ketika tokoh agama melalui kelompok lintas agama melakukan manuver, meski merasa tidak berpolitik dan tidak diniati politik tetapi substansinya didominasi persoalan politik. Buktinya pesan yang didengungkan sama sekali tidak didominasi dengan permasalahan moral bangsa seperti perilaku pornografi, tindakan korupsi, tindakan kejahatan politik, dan kejahatan moral lainnya. Tetapi justru arahnya lebih didominasi politik dan dari nada kritikannya berkesan politis. Yang mengherankan ketika jalur komunikasi diberikan SBY dengan tokoh agama itu, justru penggagas para tokoh lintas agama, Dr Dien Samsudin irit bicara. Tetapi begitu pertemuan selesai dia malah berbicara banyak dan berlebihan mengkritisi pemerintah di dalam konferensi pers di luar forum itu. Bila perilaku seperti itu dicermati, bisa saja ada anggapan masyarakat bahwa tujuan utama kelompok tersebut sebenarnya bukan sekedar mengingatkan pemerintah tetapi mengobarkan opini dan isu tersebut di muka publik dan sekedar meningkatkan citra individu tertentu. Hal inilah yang membuat anggapan dan kesan masyarakat bahwa niat baik para tokoh tersebut dibiaskan menjadi pembentukan citra kelompok, individu dan politisasi. Anggapan masyarakat ini lebih menguat ketika melihat jejak rekam perilaku politik Dien yang gagal menjadi Capres. Hal lain yang menjadi kecurigaan masyarakat bahwa kemurnian pesan moral tersebut menjadi melemah karena “think thank” substansinya ternyata diberikan oleh para LSM yang selama ini luarbiasa kritis dan seringkali memasuki ranah politik. Seharusnya lebih elegan dan lebih menjaga kemurnian suara tokoh agama tersebut bila timbul dari hati nurani sendiri yang bbgiasanya murni menggambarkan suara umatnya. Bila topik masalahnya dipasok para LSM, maka kemurnian suara yang ada semakin kabur.
Melihat berbagai hal tersebut sebaiknya para lintas agama mungkin tidak harus elkslusif mengatasnamakan para tokoh agama, karena begitu pemerintah mengundang tokoh agama lainnya diprotes oleh koordinator kelompok lintas agama tersebut. Seharusnya siapapun tokoh agama itu, bila motivasinya demi pesan kebaikan atau untuk mengingatkan pemerintah tidak perlu dibedakan pembedaan tokoh lintas agama atau kelompok di luar itu. Tetapi bila motivasinya hanya untuk membangun citra individu atau kelompok dan sekedar ingin menjelekkan maka memang harus individu tertentu saja.
Sebenarnya pesan moral para tokoh agama tersebut sangat baik dan harus diteruskan tetapi jangan dilatarbelakangi kepentingan individu dan politik tertentu yang akan mengaburkan pesan itu sendiri. Seharusnya pesan para tokoh agama itu juga harus didominasi pengingatan pesan pada penurunan moral bangsa bukan sekedar isu politik.
Sebenarnya bukan hal tabu kalau tokoh agama bicara politik, tetapi bila didominasi kepentingan individu dan kelompok maka ranah agama menjadi ajang politisasi. Apalagi bila dibelakangnya terlibat LSM, maka bahasa yang digunakan menjadi berbeda. Hal ini bisa dilihat dari kesantunan mengkritik dengan langsung menuduhkan kata “kebohongan” pada pemerintah. Nada dan logat bicara seperti inilah yang tidak lazim keluar dari para tokoh yangbiasanya santun. Biasanya seorang tokoh agama adalah seorang yang bijaksana dan ucapannya menyejukkan umat. Kesantunannya inilah yang memudar karena terbawa oleh redaksional para badan pekerjanya yang tak lain adalah LSM.
Jadilah media dan wartawan sejati. Saat ini terdapat kecenderungan kepentingan pemodal media masa sangat mempengaruhi idealisme jurnalis. Apalagi bila pemilik modal media tersebut adalah seorang politikus. Bila media masa dan wartawan sudah dipengaruhi kepentingan politik pemiliknya, maka informasi yang ada sudah tidak bisa dipercaya lagi. Saat ini yang sering terjadi adalah pencitraan negatif lawan poltik melalui media yang dimilikinya. Sehingga  informasi itu akan selalu didominasi hal negatif, saling menyalahkan dan tidak menyejukkan. Hal inilah yang membuat berita media masa Indonesia selalu dipenuhi oleh informasi tentang keburukan bangsa sendiri, jarang sekali mencitrakan keberhasilan anak bangsa. Idealisme jurnalis memang akan menjadi kabur bila kepentingan pribadi dan poltik tertentu mendominasi setiap opininya.
Jadilah  ilmuwan dan pengamat politik sejati. Bila ilmuwan dan pengamat politik sejati adalah tidak menggadaikan keilmuwanannya demi kepentingan individu dan politik tertentu dan bermanuver politik maka ucapan dan pola pikirnya akan menjadi tidak ilmiah lagi. Bila itu terjadi kritik yang ada sudah tidak cerdas dan tidak santun lagi, hanya mengandalkan emosi dan perasaan tetapi mengabaikan data ilmiah dan pikiran ilmiah.
Semua ini jadi akan jadi pembelajaran tokoh agama, birokrat, rakyat, ilmuwan, wartawan dan media masa. Bahwa idealisme profesi adalah barang mahal yang sangat langka dan tidak akan luntur oleh kemajuan jaman dan mudah terjebak oleh kemewahan kehidupan politik. Bila barang langka yang bernama idealisme terus berjalan dengan kokoh maka niscaya kehidupan bangsa ini akan selalu sejuk dengan semangat membangun, selalu berpikiran positif dan tidak akan ada saling menyalahkan dengan kritik membangun yang santun dan cerdas. Bila pesan dan kritikan didasari niat baik maka akan lebih diterima. Masyarakat saat ini selalu memperoleh pembelajaran dari media. Semakin lama masyarakat akan semakin cerdas dan mudah membedakan sosok pribadi seorang profesional sejati atau pribadi politikus sejati. Saat ini banyak para profesional yang berperilaku politikus atau bermanuver politik yang enggan meninggalkan baju profesinya. Sehingga kualitas profesionalitasnya menjadi buruk sebaliknya kualitas politiknya tidak elegan dan tidak profesional.

Protokol Krisis atau Siap-siap Imbas Krisis AS dan Eropa


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyesalkan langkah pemerintah yang dianggap terlalu dini mencabut status waspada terhadap krisis Eropa dan Amerika. Apalagi, krisis global kini berpotensi meluas ke sejumlah negara Eropa lain. Setelah Yunani, Irlandia, Italia, Spanyol dan Portugal, krisis memang berpotensi menjalar ke Inggris dan Perancis.
"Selain menganggu pertumbuhan ekonomi dunia, krisis ini juga memberikan tekanan terhadap perekonomian nasional. Karena itu, jika tidak diwaspadai, akan sangat berbahaya buat kita," tegas anggota Komisi XI DPR, Abdilla Fauzi Achmad kepada wartawan di Jakarta, (9/10/2011).
Lebih lanjut dia menegaskan meski status waspada krisis memang sudah dicabut, itu bukan artinya pemerintah menjadi abai terhadap ancaman eksternal.
“Sejumlah negara Eropa dan  AS sedang mengalami persoalan neraca keuangan,  mulai dari rumah tangga, korporat, dan pemerintah. Ini artinya mereka membutuhkan likuiditas dari seluruh dunia, termasuk dari dana-dana mereka yang ada di Indonesia,” sebutnya.
Abdillah mengakui dampak krisis global saat ini belum signifikan dampaknya bagi perekomian nasional. Namun dampak tersebut bisa saja ke arah yang tidak menyenangkan, bahkan bisa merebak cukup  parah.  
Karena itu kata Fauzi, protokol krisis menjadi sangat penting bagi Indonesia sebagai antisipasi menghadapi krisis di AS dan Eropa. Karenanya, demikian dia meminta, agar peran Bank Indonesia, Kementerian  Keuangan dan tim di bawah Menko Perekonomian bersinergi untuk mencegah dampak krisis yang lebih luas masuk ke Tanah Air sangat diperlukan seperti ketika menghadapi krisis 2008 lalu.
“Protokol krisis ini meliputi pertahanan di sektor fiskal, moneter, industri, dan perdagangan. Mestinya disiapkan langkah mitigasi krisis global," tegasnya.
Untuk itu, dia menuturkan, stabilitas rupiah, inflasi yang terkendali, likuiditas perbankan, dan besaran cadangan devisa harus menjadi perhatian pemerintah. Kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi pun harus dilakukan. Dengan begini, ekonomi Indonesia tetap berjalan sesuai di treknya.
“Intinya adalah agar semua Lembaga menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam kerangka berbangsa dan bernegara, guna memperkuat ketahanan ekonomi nasional dari badai yang sedang menerpa sebagian wilayah dunia,” Fauzi mengatakan.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan